Menjadi Penyalur Berkat Bekerja Dengan Hati

Menjadi Penyalur Berkat Bekerja Dengan Hati

PLAYEN - Berawal dari sebuah berita yang saya peroleh dari web PKH-Jogjaistimewa per tanggal 3 Desember 2017 yang menyatakan saya dan ribuan teman lain dari bebagai penjuru negeri lolos dalam seleksi akhir penerimaan SDM PKH untuk periode kerja 2018, saya menemukan banyak cerita yang kemudian begitu ingin saya bagikan pada orang lain.

Awalnya pemahaman saya begitu dangkal tentang pekerjaan sebagai “Pendamping Sosial PKH”. Saya pikir “Pendamping Sosial PKH” adalah orang-orang yang kerjanya hanya saat penyaluran bantuan PKH seperti yang tetangga-tetangga saya dapat setiap periode tertentu dengan besaran tertentu. Setelah itu ya udah, selesai.

Tetapi mata saya terbuka lebar ketika per tanggal 2 Januari 2018, kami PKH kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta yang istimewa ini mulai diperbantukan di kecamatan sesuai domisili mengingat SK kami belum turun. Tapi kemudian ada jadwal verifikasi, dimana kami “anak baru” sudah dilibatkan untuk datang ke FASDIK dan FASKES untuk memverifikasi jadwal kunjungan dan memastikan komitmen KPM. Disitu saya bisa bilang “Oh, ada kerjaan begini juga ya?”

Nggak sampai di situ saja.

Awalnya saya antusias sekali mengikuti pertemuan kelompok yang dilakukan oleh seorang senior pendamping sosial di kecamatan Playen. Beliau mengajak KPM (Keluarga Penerima Manfaat) dampingannya untuk bernyanyi, meneriakan yel-yel dengan semangat dan juga menyanyikan Mars PKH sebelum akhirnya memulai materi FDS (Family Development Season). Saya berpikir â€œWhat a great happiness that She brought to Them”. Simbah-simbah, ibu-ibu tua muda berkumpul menjadi satu juga beberapa membawa anak tampak begitu antusias bahkan penuh dengan canda tawa ketika mereka meneriakan yel-yel, tepuk tangan, dan penuh dengan semangat ketika menyanyikan Mars PKH.

Ada satu bait yang saya ingat, karena itu adalah bagian refrein, yang paling gampang nyangkut di otak.

PKH program Keluarga Harapan

Membangun Keluarga Sejahtera

Rakyat Cerdas Rakyat Sehat

Kita bangun Indonesia Hebat

Sangat menjanjikan, pikir saya. Tapi apakah iya implementasinya menyeluruh sampai ke akar? Masih ada keraguan waktu itu. Ah paling bantuan diterima habis itu udah. Tapi mata saya terbuka lebih lebar lagi ketika waktu itu saya diberikan kesempatan oleh seorang kakak pendamping senior lain, yang bertugas mengampu wilayah Banaran, Playen, Gunungkidul.

Seperti pertemuan kelompok yang pernah saya ikuti sebelumnya, Pendamping Sosial datang menyapa KPM dan dilanjutkan dengan pembahasan berbagai masalah yang ada. Kebetulan pedukuhan Banaran bersebelahan dengan pedukuhan tempat saya tinggal walaupun kami beda Desa jadi beberapa sudah saya kenal baik.

Yang menarik adalah ketika ada seorang ibu yang nyletuk ketika kami akan melakukan sesi foto diakhir pertemuan “Itu biar digendong bundanya.” Saya nengok, “Bundanya?” pikir saya agak aneh, wong saya lihat anak itu lagi digendong ibunya yang kebetulan saya kenal meski tidak dekat.

Terus saya tanya ke kakak pendamping senior saya “Kok bunda mbak?”

Dan disitulah semua cerita berawal. Balita mungil bernama Salfa (nama samaran) waktu itu lahir dengan bobot 2,5 Kg di bidan setempat. Lahir dalam kondisi normal dalam artian tidak ada cacat bawaan yang terlihat ketika dia lahir. Namun di usia satu bulan berat badannya menurun, dia terlihat sangat kurus dan rewel. Orang-orang di sekitarnya menyarankan ibu si bayi sebut saya bu Nurma membawa bayinya periksa ke fasilitas kesehatan. Karena waktu itu lahir di bidan, maka bayi tersebut dibawa kembali ke bidan, sekaligus untuk imunisasi. Namun karena berat badan bayi sangat rendah, sekitar 1,9 Kg, maka bidan menolak dan disarankan agar bu Nurma memperbaiki kondisi dirinya dan ASInya agar si bayi bisa memperoleh asupan yang lebih baik untuk meningkatkan berat badannya. Bu Nurma pernah bertanya soal obsi memberikan susu formula, namun bidan mengatakan tidak perlu, cukup ASI saja. Bu Nurma membawa pulang bayi Salfa dengan harapan bahwa kondisi si bayi akan membaik setelah beliau memperbaiki asupan gizinya.

Singkat cerita, karena pertemuan kelompok diadakan sebulan sekali, bu Nurma datang bersama bayi Salfa. Dan waktu itu pendamping kelompok bermana mba Maria Astika (nama asli karena sudah meminta persetujuan yang bersangkutan) diberitahu oleh ibu dukuh setempat mengenai kondisi bayi bu Nurma. “Mbak, mbok coba dilihat bayinya bu Nurma, kecil sekali, kasihan.”

“Aku nangis waktu pertama kali lihat itu beneran tinggal tulang sama kulit, mukanya tua, iganya kelihatan. Nangis aku.” Tutur mba Maria Astika.

Nggak cuman nangis-nangisan terus tanpa tindak lanjut. Beliau yang kebetulan juga adalah seorang bidan dan memiliki base keilmuan tumbuh kembang bayi mendekati bu Nurma untuk melihat bayi Salfa. Betapa terkejutnya beliau ketika melihat kondisi bayi yang sangat kurus. Dan air matanya bahkan tak terbendung lagi ketika baju bayi Salfa dibuka dan beliau melihat tulang rusuk si bayi menyembul di balik kulitnya. Bu Nurma tak kalah sedih ketika menuturkan perihal penurunan berat badan yang dialami oleh bayi Salfa.

Dengan tanggap mba Maria Astika segera mengambil gambar bayi Salfa dan mengirimkannya pada sang ibu yang kebetulan juga seorang Bidan aktif yang berpraktek ke Puskes, dengan tujuan meminta saran terkait kondisi bayi Salfa. Kemudian sang ibu menyarankan agar bayi Salfa segera di bawa periksa ke Puskes.

Tak sampai di situ, karena kondisinya yang sudah sangat buruk, bayi Salfa akhrinya mendapat rujukan ke RSUD. Setelah beberapa hari observasi dan dicek lab untuk mencari tahu apa penyebab penurunan berat badan yang dialami bayi Salfa ternyata semua hasil lab menunjukan hasil yang baik. Artinya tidak ada penyakit yang diderita si bayi.

Bayi malang tersebutpun mendapat rujukan ke rumahsakit Dr. Sardjito untuk mendapatkan penanganan yang lebih menyeluruh. Dan setelah beberapa hari diobservasi akhirnya ditemukan penyebab si bayi mengalami penurunan berat badan drastis tersebut. Ternyata bayi Salfa mengalami apa yang disebut â€œTongue Tie” atau â€œankyloglossia” dimana bentuk lingual frenulum (selaput lidah) lebih pendek dan melekat pada sisi bawah ujung lidah dan lantaimulut sehingga penderitanya tidak bisa menjulurkan lidah keluar dengan baik. Hal ini menyebabkan perlekatan tidak sempurna ketika bayi menyusu pada ibunya sehingga hasilnya juga tidak maksimal. Untuk memperbaiki kelainan bawaan tersebut dibutuhkan tindakan operasi.

Saya pikir tugas pendamping sosial selesai setelah itu. ternyata tidak. Mba Maria Astika juga membantu memberikan arahan pada keluarga bayi Salfa untuk mengurus jaminan sosial bayi Salfa agar semua biaya rumahsakitnya bisa ditanggung oleh pemerintah. Selain itu mba Maria juga memantau kondisi bayi Salfa meski hanya lewat berita yang dikabarkan pihak keluarga, karena tugas mba Maria tentu saja banyak mengingat KPM ampuannya saat itu mencapai ratusan orang, bahkan mungkin sekitar tujuh ratusan KPM.

Singkat cerita mba Maria mendapat kabar dari bapak sang bayi sebut saja pak Bambang, mengenai kondisi bayi Salfa yang sudah ada titik terang karena sudah ditemukan penyebab penurunan berat badannya dan operasi juga segera dilakukan. Namun, meski biaya rumahsakit sudah ditanggung pemerintah ternyata ada biaya operasional yang dikeluarkan mengingat mereka bolak-balik dari Gunungkidul ke Jogja, dan keterbatasan biaya menjadi salah satu alasan pak Bambang berkeluh-kesah pada mba Maria.

Dengan daya dan upayanya mba Maria mencoba mencarikan solusi, dan akhirnya dirujuk ke Dinsos. Setelah berapa lama Bayi Salfa keluar dari rumah sakit dalam kondisi yang sudah sehat, dan ada bantuan dari Dinsos untuk keluarga pak Bambang sebagai biaya operasional juga.

Mungkin kalau diceritakan tidak sampai tiga menit, tapi saya yakin proses itu begitu panjang dan melelahkan. Menyangkut nyawa seorang bayi dan masadepannya. Bagaimana jika pendamping sosial abai waktu itu? Mungkin saja bayi Salfa tidak akan bisa bertumbuh menjadi bayi cantik yang montok seperti yang terakhir saya lihat.

“Waktu pertama kali dikirimi foto bayi itu sebulan setelah operasi aku nangis juga, wong bayi itu udah berbentuk bayi. Udah ada pipinya, udah ada dagingnya, walaupun belum montok.” Ujar mba Maria, masih berkaca. Dan itu membuat saya merasakan betapa dalam kondisi itu menyentuh mba Maria Astika sebagai pendamping sosial. Bukan hanya embel-embel ketika beliau memakai seragam saja, ini sudah urusan hati.

 

         

(*Perkembangan bayi Salfa sebelum dan sesudah penanganan – Saya yang ambil gambar pertemuan kelompok dimana kondisi bayi Salfa sudah terlihat sangat baik dengan BB 10 Kg di usia 11 bulan.)

Semalaman saya susah tidur memikirkan hal ini. Hati saya seolah terketuk, saya pengen banget nulis kisah ini dan jika boleh mungkin membagikannya secara luas. Inilah yang disebut bekerja sosial. Bekerja dengan hati, bukan dengan logika saja dan bukan semata-mata untuk mengejar materi.

Bahkan kedekatan yang terjalin antara KPM dan Pendamping itu bisa sedekat itu. Bukan mbak Maria yang meminta dirinya dipanggil bunda, tapi justru masyarakat dan KPM lain yang menyaksikan perjuangan mba Maria sebagai pendamping dan bu Nurma sebagai KPM, bersama-sama mengupayakan kesembuhan bayi Salfa. Bahkan pada akhirnya mereka terlihat seperti keluarga yang waktu saya datang dan diperkenalkan sebagai pendamping baru yang mungkin saja nanti mendampingi mereka menggantikan mba Maria, mereka seolah â€œemoh kelangan” atau nggak mau kehilangan. Kedekatan semacam itu yang membuat saya trenyuh.

Time files, buat mba Maria Astika memang, tapi ini pelajaran luar biasa buat saya yang baru saja “kecemplung” di dunia pendampingan sosial dimana kita harus berinteraksi langsung dengan lapisan masyarakat paling bawah. Melihat banyak hal dengan begitu real. Ini jadi semacam pecut buat saya, dan saya harap buat teman-teman pendamping dimanapun berada. Mungkin Tuhan memang memakai kita sebagai sarana berkatnya untuk orang lain, jadi mari kita menjadi penyalur berkat yang memberikan tenaga, pikiran dan hati secara tulus pada mereka yang membutuhkan.